Oleh : Nuhfatir Sibua, S.M
Mantan Sekretatis HIPPMAMORO Malut
Sebagai mahasiswa yang juga peduli terhadap pembangunan pendidikan di daerah, saya menghormati sikap BEM Unipas. Namun, saya merasa perlu menyampaikan pandangan berbeda terkait dukungan terhadap kebijakan penghentian beasiswa bagi mahasiswa luar daerah.
Pertama, pembangunan sumber daya manusia tidak boleh dibatasi oleh lokasi geografis. Artinya Mahasiswa dari Morotai yang memilih kuliah di luar daerah seringkali mencari program studi yang belum tersedia di Unipas, atau ingin memperluas jejaring dan wawasan. Ini juga bagian dari investasi jangka panjang bagi daerah, karena mereka akan kembali dengan pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas.
Kedua, mengalihkan seluruh dana beasiswa hanya ke Unipas memang terdengar baik untuk kampus, tapi berisiko mematikan potensi intelektual anak-anak Morotai yang memiliki cita-cita spesifik di bidang-bidang yang belum terakomodir oleh Unipas. Bukankah hak atas pendidikan yang berkualitas juga termasuk kebebasan memilih tempat belajar?
Ketiga, narasi bahwa “membangun Morotai harus dari Unipas” patut dikaji ulang. Pembangunan daerah membutuhkan kontribusi dari berbagai link, termasuk diaspora mahasiswa Morotai di luar daerah yang bisa membawa inovasi baru ke kampung halaman. Mereka bukan lawan, tapi aset. Saya berharap Pemda bisa mencari solusi yang lebih berimbang, misalnya dengan tetap memberikan beasiswa luar daerah untuk jurusan strategis yang belum tersedia di Unipas, sambil secara paralel meningkatkan kualitas kampus lokal (Ujarnya).
Pernyataan Bapak Fandi Latif memang menyentuh sejumlah problematika penting, seperti dugaan penyalahgunaan beasiswa dan ketidaktepatan sasaran. Namun, menjadikan kasus individual sebagai dasar generalisasi untuk menghentikan seluruh program beasiswa luar Morotai adalah bentuk penyederhanaan masalah yang berisiko menciptakan ketidakadilan baru.
1. Masalah administrasi bukan alasan untuk mencabut hak banyak orang. Jika benar ada mahasiswa yang memperoleh beasiswa secara tidak sah, maka yang perlu diperbaiki adalah sistem verifikasi dan seleksi, bukan mencabut seluruh program untuk mahasiswa luar daerah yang benar-benar warga Morotai dan membutuhkan dukungan.
2. Mengasumsikan bahwa mahasiswa Morotai di luar daerah pasti berasal dari keluarga mampu adalah asumsi keliru. Banyak dari mereka adalah anak buruh, nelayan, atau petani yang kuliah di luar karena pilihan jurusan tertentu yang tidak tersedia di Unipas. Apakah kita akan memutus harapan mereka hanya karena mereka tidak berada di kampus lokal?
3. Efisiensi anggaran harus sejalan dengan prinsip keadilan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa negara bertanggung jawab menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Jika Unipas belum bisa menyediakan semua pilihan pendidikan yang dibutuhkan, pemerintah daerah tetap wajib mendukung akses pendidikan warganya ke luar daerah secara adil dan proporsional.
4. Narasi “bangun daerah dari dalam” tidak harus bertentangan dengan mendukung mahasiswa yang kuliah di luar. Justru mereka inilah yang bisa menjadi jembatan untuk membawa pengetahuan, jaringan, dan inovasi ke Morotai saat mereka kembali. Tidak sedikit putra-putri daerah yang setelah kuliah di kota besar, kembali dan membangun kampung halamannya dengan lebih baik.
5. Fokus terhadap penegrian Unipas adalah langkah baik, namun tidak boleh menjadi alasan untuk menutup akses pendidikan lainnya. Membangun satu institusi tidak harus dengan meruntuhkan akses ke institusi lain. Kebijakan strategis harus bersifat inklusif, bukan eksklusif.
Akhirnya, jika tujuan kita benar-benar membangun SDM unggul Morotai, maka kebijakan beasiswa harus dikaji ulang secara komprehensif: melibatkan mahasiswa, akademisi, dan masyarakat, bukan hanya dari satu sudut pandang. Jangan sampai kebijakan ini justru mencederai semangat keadilan sosial dan pendidikan sebagai hak dasar warga negara.
Selain persoalan etis dan prinsip keadilan, kajian ilmiah dalam bidang kebijakan publik dan pendidikan juga menyoroti pentingnya inklusivitas dalam perumusan kebijakan pendidikan. Menurut Amartya Sen (1999) dalam bukunya Development as Freedom, pembangunan manusia harus dilihat dari kemampuannya untuk memilih dan mengakses peluang, termasuk dalam bidang pendidikan. Dengan membatasi beasiswa hanya untuk mahasiswa di dalam Morotai, kebijakan ini berpotensi mempersempit peluang warga yang memiliki aspirasi dan kebutuhan pendidikan yang lebih beragam.
Dalam perspektif Teori Ekuitas (Equity Theory) yang dikembangkan oleh John Stacey Adams, kebijakan publik harus mempertimbangkan kesetaraan perlakuan berdasarkan kebutuhan dan kontribusi. Mahasiswa Morotai yang kuliah di luar daerah bukan berarti tidak berkontribusi atau tidak akan memberikan timbal balik. Mereka justru membawa potensi yang lebih luas karena mendapat akses pendidikan yang lebih variatif, yang pada waktunya dapat kembali menjadi kekuatan pembangunan daerah.
Lebih lanjut, kajian Studi Pendidikan Daerah Tertinggal oleh UNESCO dan Bank Dunia menegaskan bahwa intervensi pemerintah daerah dalam bentuk beasiswa keluar daerah adalah salah satu strategi penting dalam menjembatani ketimpangan akses pendidikan antara wilayah maju dan wilayah berkembang. Dengan kata lain, kebijakan seperti ini bukan sekadar pengeluaran, tetapi merupakan investasi jangka panjang dalam sumber daya manusia lokal.
Dalam laporan Indonesia Education Flagship Report (World Bank, 2020), dijelaskan bahwa akses ke perguruan tinggi di luar wilayah domisili dapat meningkatkan kualitas pendidikan individu, keterampilan kerja, dan daya saing ekonomi daerah asal. Artinya, mahasiswa Morotai yang berkuliah di luar justru membawa peluang yang lebih besar untuk penguatan kapasitas lokal jika difasilitasi dengan baik.
Kebijakan yang selektif harus dibarengi dengan mekanisme evaluasi yang transparan dan berbasis data, bukan generalisasi atau sentimen lokal semata. Pemerintah daerah semestinya melakukan pemetaan kebutuhan pendidikan, termasuk jurusan yang belum tersedia di Unipas, lalu menyesuaikan alokasi beasiswa berdasarkan kebutuhan tersebut. Dengan cara ini, beasiswa tetap selektif, tepat sasaran, dan adil.