Oleh: Ahmad Sibua (Pemerhati Sosial)
Rentetan bencana yang menimpa Sumatera—banjir bandang yang meluluhlantakkan pemukiman masyarakat di Sumatera Barat, longsor yang menelan korban di sepanjang Bukit Barisan, hingga sedimentasi parah yang membunuh ekosistem sungai—tidak lagi dapat kita maknai sebagai siklus alamiah yang datang saban tahun. Ini bukan takdir, bukan pula sekadar fenomena geologis. Ini adalah potret telanjang dari kegagalan kita dalam menyelaraskan ruang, lingkungan, dan wilayah sebagai satu kesatuan geografis yang hidup.
Ekologi yang Runtuh: Hutan yang Hilang, Bencana yang Menjelma
Jika kita menelaah persoalan ini melalui pendekatan ekologi, akar kerusakannya bermula dari cara pandang kita terhadap hutan.
Hutan dipersepsikan semata sebagai komoditas kayu dan hamparan tanah kosong yang siap dikonversi menjadi perkebunan monokultur berskala raksasa—seakan-akan alam hanyalah objek ekonomi tanpa ruh dan nilai sosial-ekologis.
Padahal, hutan tropis Sumatera selama jutaan tahun berfungsi sebagai arsitektur hidrologis yang cermat: menyaring air, menahan limpasan, menyimpan karbon, dan menjaga stabilitas tanah. Ketika hutan ditebang, air tidak lagi diserap dan ditahan secara alami. Air hujan kini mengalir dengan volume eksplosif, meluap ke sungai, dan menjelma sebagai bencana yang menyapu anak-anak, rumah, ternak, serta harapan. Kita telah gagal beradaptasi secara harmonis dengan alam. Peradaban kita telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan, dan alam kini menagih harga yang mahal.
Disorganisasi Ruang: Ketika Tata Ruang hanya Menjadi Dokumen Formal Dari perspektif keruangan, tragedi ini memperlihatkan betapa kacaunya arah pembangunan Sumatera. Bukit Barisan sebagai tulang punggung pulau—dengan kondisi morfologi ekstrem—diterobos oleh pemukiman, kebun, dan infrastruktur tanpa menghitung risiko geologi dan hidrologi.
Ruang terbuka hijau menyusut. Daerah resapan berubah menjadi beton dan aspal, dan dengan itu aliran permukaan dipaksa bergerak liar, menyerang wilayah hilir tanpa ampun. Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan praktik penggunaan lahan di lapangan bukan lagi sebuah kebetulan: itu adalah bentuk nyata subordinasi keselamatan publik atas kepentingan akumulasi modal.
Sumatera dikelola bukan berdasarkan keselamatan ekologis, melainkan berdasarkan logika ekonomi jangka pendek.
Kewilayahan yang Terkoyak: Hulu Dieksploitasi, Hilir Ditenggelamkan
Jika dibaca melalui pendekatan kewilayahan, jelas bahwa bencana di Sumatera merupakan hasil dari keterhubungan spasial yang timpang. Penggundulan hutan di dataran tinggi memberikan dampak langsung pada dataran rendah yang kini menjadi langganan banjir kiriman.
Namun sistem pemerintahan kita masih berpikir dalam batas administratif—kabupaten bertindak sendiri, provinsi berjalan dengan ambisi sendiri, dan DAS yang seharusnya menjadi satu ekosistem wilayah justru terpecah oleh ego sektoral. Hulu dan hilir tidak pernah dipandang sebagai satu tubuh yang tak terpisahkan.
Kita menyaksikan ketidakadilan ruang yang mencolok: sumber daya di hulu dieksploitasi untuk keuntungan korporasi dan pusat, sementara masyarakat di hilir dibiarkan menanggung beban bencana sendirian.Masa Depan Sumatera: Menata Ulang Ruang, Mengembalikan Martabat Alam Kita harus berani mengakui: bencana ini adalah cermin dari kegagalan pengelolaan modal alam secara geografis. Selama ini kita terpukau oleh angka pertumbuhan ekonomi, namun menutup mata terhadap depresiasi ekologis yang menggerogoti Sumatera sedikit demi sedikit. Solusi tidak cukup berhenti pada posko darurat, bantuan logistik, dan liputan media sesaat. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk:
Melakukan audit tata ruang secara transparan dan berbasis sains, bukan kepentingan politik.
Menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu, termasuk bagi perusak hutan yang berlindung di balik izin formal. Melakukan restorasi ekosistem secara kewilayahan, menyambungkan kembali fragmen hutan, memulihkan aliran air, dan melindungi ruang hidup masyarakat lokal.
Membangun tata kelola berbasis DAS, sebagai satu kesatuan ekologi—bukan sekadar batas administratif.
Jika kerusakan ekologis dan kesemrawutan keruangan ini terus dibiarkan, maka kita sesungguhnya sedang menulis surat kematian bagi masa depan pulau Sumatera. Alam bukan sedang murka—ia hanya sedang menunjukkan batas kesabarannya setelah tatanan kewilayahannya diacak-acak demi keuntungan sesaat.
Sumatera harus dipulihkan. Dan pemulihan itu hanya dapat dimulai ketika ruang dikelola bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai ruang hidup bersama—untuk manusia, untuk alam, dan untuk generasi yang belum lahir. Akhirnya, pertanyaan yang tertinggal bagi kita semua adalah :
Apakah kita masih ingin dikenang sebagai generasi yang menyaksikan kejatuhan Sumatera tanpa melakukan apa-apa?
