Toban Bonjol dan Jiwa Marhaenisme : Kesetiaan Kader pada Jalan Rakyat

Toban Bonjol dan Jiwa Marhaenisme : Kesetiaan Kader pada Jalan Rakyat

Spread the love

Oleh : Imran Hi. Alim

Marhaenisme, sebagaimana dirumuskan oleh Bung Karno, bukanlah sekadar teori sosial, melainkan sikap hidup dan keberpihakan ideologis. Ia lahir dari perjumpaan langsung dengan penderitaan rakyat kecil kaum marhaen yang hidup di bawah tekanan struktur ketidakadilan. Dalam konteks inilah Toban Bonjol menempatkan dirinya: sebagai kader GMNI yang memilih berdiri bersama rakyat, bukan di atas rakyat.

Bagi Bung Karno, revolusi bukan peristiwa sesaat, melainkan proses panjang pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian, berdaulat, dan berkeadilan. Toban Bonjol memahami spirit ini secara praksis. Ia hadir di tengah dinamika sosial Halmahera Selatan bukan sebagai penonton, melainkan sebagai bagian dari denyut penderitaan rakyat. Ketika jeritan masyarakat kecil terdengar, ia datang bukan karena perintah organisasi, tetapi karena kesadaran ideologis yang telah menyatu dengan nuraninya.

Marhaenisme menolak perjuangan elitis. Ia menuntut kader untuk “Turun Ke Bawah”, menyelami realitas hidup rakyat, dan menjadikan penderitaan mereka sebagai titik tolak perjuangan. Toban Bonjol menjalankan prinsip ini dengan kesetiaan yang nyaris asketis. Ia tidak pernah mengeluh atas amanah yang dipikul, sebab baginya GMNI adalah rumah perjuangan—ruang untuk mengabdi, bukan alat untuk mencari kenyamanan pribadi.

Dalam pidato-pidato Bung Karno, ditegaskan bahwa kader revolusioner sejati adalah mereka yang berani setia pada garis ideologi, meski jalan itu sunyi dan penuh risiko. Toban Bonjol adalah contoh nyata kader semacam itu. Ia tidak menjadikan GMNI sebagai kendaraan oportunistik, melainkan sebagai alat perjuangan ideologis untuk menjembatani kepentingan rakyat dengan cita-cita keadilan sosial.

Kepekaan sosial almarhum bukanlah empati sentimental, melainkan kesadaran marhaenis: memahami bahwa kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan bukanlah nasib, tetapi hasil dari struktur yang timpang. Karena itu, baginya menyuarakan kepentingan masyarakat umum adalah sebuah kemuliaan, sebab di sanalah martabat manusia dipertaruhkan.

Kini Toban Bonjol telah pergi. Namun sebagaimana Bung Karno pernah menegaskan, “Orang Boleh Mati, Tetapi Ide Tidak Bisa Dibunuh” Semangat perjuangan yang ia hidupi adalah bagian dari api marhaenisme yang harus terus dijaga oleh GMNI Halmahera Selatan dan seluruh kader GMNI di manapun berada.

Kepergian almarhum adalah peringatan ideologis: bahwa GMNI tidak boleh tercabut dari rakyat, tidak boleh berjarak dari kaum marhaen, dan tidak boleh berkompromi dengan pragmatisme yang melemahkan jiwa revolusioner. Mengenang Toban Bonjol berarti memperbarui sumpah setia pada marhaenisme dan setia pada rakyat, setia pada ideologi, dan setia pada cita-cita Indonesia yang adil dan berdaulat.

Selamat jalan, Toban Bonjol. Engkau telah menunaikan dharmamu sebagai kader marhaenis. Api perjuanganmu akan tetap menyala dalam setiap langkah GMNI Halmahera Selatan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *