Sajak Cermin Diri Bambang Oeban Untuk DPR RI

Sajak Cermin Diri Bambang Oeban Untuk DPR RI

Spread the love

 

Banten, – tribunnews86.id

☆Jacob Ereste☆

Syair yang ingin dibacakan penyairnya, Bambang Oeban di ruang sidang DPR RI merupakan bentuk dari klimak kegundahan rakyat terhadap wakil rakyat yang tidak lagi menyuarakan kepentingan rakyat, tapi kepentingan pribadi dan kepentingan partai yang memposisikan dirinya sebagai petugas partai.

Suara yang lahir dari jalanan berdebat ini mengekspresikan suasana kesulitan rakyat miskin yang masih dominan asa di negeri ini, suara yang tidak muncul dari ruang ber-ac dengan kursi empuk serta suguhan makanan yang paling enak dan mahal harganya, yang sulit sijangkau oleh kemampuan rakyat. Karena itu rakyat menitipkan suaranya untuk diungkapkan kepada pihak eksekutif — pemerintahan — untuk diwujudkan sesuai amanah UUD 1945 yang asli serta Pancasila yang menegaskan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk elite penguasa semata, terutama bukan bagi para anggota dewan yang masih merasa terhormat itu.

Ujung dari kemarahan rakyat yang tak hendak disebarkan suaranya itu — seperti yang terjadi pada akhir bukan Agustus 2025 hingga awal Seorember 2025 — yang berakhir dengan perampasan aset sejumlah elit dan petinggi di negeri ini, merupakan puisi nyata yang diwujudkan dalam bentuk tindakan, hingga dianggap kerbrutalan oleh sebagian orang.

Suara nyata seperti tersebut diatas, jelas berasal dari mereka yang telah menelan janji muluk anggota dewan perwakilan rakyat yang ingkar untuk konsustenn memperjuangkan Aspirasi rakyat yang diusung ke parlemen untuk diimplrmentasikan dalan wujud yang nyata, yaitu memperbaiki untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang masih sangat rendah, berasa jauh dibawah kebutuhan hidup yang layak dan manusiawi.

Kondisi yang timpang ini wajar menyulut rasa kecemburuan sosial akibat dari fasilitas yang berlebihan bisa diperoleh oleh para anggota Dewan dibanding wong cilik yang selalu dikadali suaranya di parlemen.

Sajak ini, kata Bambang Oeban yang ingin dia bacakan di ruang sidang DPR RI, jelas mengekspresikan wakil rakyat di Indonesia sekarang tidak lagi mewakili rakyat yang merasa terdekat untuk menyampaikan keluh kesah dan masalah hidup dan kehidupan yang semakin sulit dan semakin menghimpun. Tapi, pagar angkuh dan gerbang DPR RI yang tertutup rapat itu semakin meyakinkan bila suara rakyat cukup ditekan sendiri seperti lauk pauk makanan sehari-hari yang tidak bergizi. Sebab Suara rakyat pun tidak lagi dipercaya sebagai Suara Tuhan. Sekali pun sajak ini diakui oleh penyairnya tidak lahir dari kebencian, melainkan dari rasa cinta kepada negeri ini agar tidak semakin rusak dan ambruk.

Bambang Oeban pun mengatakan rakyat sudah terlalu lama bersabar menunggu janji yang rak kunjung nyata diwujudkan. Rakyat sudah bersabar menonton sandiwara persidangan yang penuh drama, penuh istriku dan penuh teriakan, seolah-olah negeri ini hanya milik segelintir orang, sementara rakyat tidak lebih dianggap penonton.

“Padahal, sejatinya negeri ini adalah rumah bersama, tempat dimana setiap orang berhak atas kesejahteraan, keadilan dan memiliki harga diri sebagai manusia.

Para wakil rakyat janganlah tuli terhadap Suara yang membangunkan, kata Bambang Oeban, penyair yang juga menggelar dunia film. Dan dia mengingatkan agar para anggota dewan segera menghentikan untuk menjadikan rakyat sekedar tamemg untuk meraih jelaskan dan kekuasaan yang melupakan rakyat.

Begitulah sajak Bambang Oeban ini dia sebut sebagai pamflet untuk menjadi tempat bercermin diri. “Bila engkau melihat wajah rakyat yang letih, itulah wajahmu. Bika engkau melihat wajah rakyat yang kapar, itulah tanggung jawabmu. Bila engkau melihat negeri ini masih pancang berjalan, jangan salahkan siapa pun, sebab engkau — anggota parlemen — yang memegang kendali”.

Karena itu Bambang Oeban mengingatkan kepada para anggota DPR RI, sebelum rakyat benar-benar berbalik — seperti yang tekah dicontohkan pada akhir Agustus hingga awal September 2025 di berbagai tempat dan daerah, rakyat tak lagi mampu mengulur kesabaran yang sudah menembus ibun-ubun di kepala, rakyat mulai menunjukkan kemarahan yang ditahan itu bisa lebih besar dan membara, jika tidak segera disadari dan dihadapi dengan cara yang lebih bijak dan ugagari. Tidak pongah dan sombong. Sebab negeri ini bukan miliki anda sendiri, tapi negeri ini milik bangsa Indonesia yang telah sepakat diproklsmasikan sejak 80 tahun lalu.

Banten, 19 September 2025

(Agus Salim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *