Banten, – tribunnews86.id
☆Jacob Ereste☆
Usia 50 tahun bagi organisasi semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang lahir pada tahun 1975 menandai juga akumulasi pengalaman , ijtihad dan pengabdian para ulama dalam mendampingi dan membimbing umat serta segenap warga bangsa Indonesia. Dan menurut penyusun buku ini lahir dari hasrat untuk melakukan refleksi dari perjalanan 50 tahun MUI pada tahun 1975 hingga tahun 2025 dengan peran yang tidak sederhana dan memberi pelayanan kepada umat sekaligus mitra pemerintah berdasarkan nilai-nilai Islam di dalam hiruk pikuk politik nasional dan perubahan sosial serta perkembangan teknologi.
Sebagai penyusun buku ini, Dr. Erni Juliana Al Hasanah Nasution SE., M.Ak melihat MUI terus berupaya menjaga Marwah keulamaan sekaligus menjawab tantangan zaman dengan ijtihad yang kontekstual. Perjalan MUI dalam lima babak waktu, sudah diupayakan oleh penyusun bulu ini secara sistematis mulai dari layat belakang, dinamika internal, respon terhadap tantangan sosial-politik hingga kiprah dan warisan tokoh yang pernah memimpin lembaga perhimpunan kaum.ulama Indonesia ini.
Menurut Erni Juliana — yang mengaku sebagai penulis, meski sesungguhnya bisa juga disebut sebagai penyusun buku ini, MUI bukan sekedar institusi belaka, tetapi juga sebagai entitas moral yang hidup ditengah denyut nadi bangsa Indonesia yang masih acap menimbulkan ketegangan antar pemeluk agama yang ada di negeri kita. Kendati secara umum, kesadaran terhadap keragaman — kemajemukan — jauh lebih dapat dibanggakan karena relatif bisa lebih rukun dan damai hidup berdampingan dengan mereka yang lain.
Buku yang nyaris mencapai 500 halaman ini diberi judul “Mengemban Khadimul Ummah, Memperkokoh Shadikul Hukuman” dalam refleksi 50 tahun MUI ini, berharap pada kedudukan MUI akan selalu berpihak pada prinsiporal Islam , berpihak pada maslahat umat dan tetap kritis dalam berhubungan dengan negara. Karena menurut Erni Juliana, ulama adalah lentera zaman. Karenanya, ulama harus tetap bersinar di tengah kegelapan zaman yang berubah cepat.
Buku tentang 50 tahun MUI ini semakin terkesan lebih tepat disusun oleh Erni Juliana, ketika menampilkan sejumlah pendapat dan pandangan para tokoh, mulai dari pengantar buku dari Ketua Umum MUI, KH. Muhammad Anwar Iskandar dan Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar MA. hingga Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Dr (HC) KH. Ma’ruf Amin.
Lima puluh tahun usia MUI, merupakan waktu yang cukup untuk menilai rekam jejaknya berkiprah untuk ummat, bangsa dan negara. Refleksi atas perjalanan MUI memang cukup untuk melihat relevansi dan kapasitas adaptif lembaga ini terhadap perubahan jaman. Apalagi kemudian memposisikan tugas besar MUI di masa depan harus mampu memperkuat literasi keagamaan di tengah masyarakat dalam upaya untuk membangun kesadaran kebangsaan yang kuat dan dapat menghadirkan Islam yang damai , inklusif dan solutif bagi berbagai persoalan umat dan segenap warga bangsa Indonesia untuk masa menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks dan rumit.
Kalau saja isi buku ini bisa dikatakan semacam kapita selekta — kumpulan dari pemikiran dan gagasan serta pandangan para tokoh ulama Indonesia yang genial — mungkin tidaklah berlebih karena memang sederet pemikiran, gagasan dan pandangan yang termuat dalam bagian ke-5: Kepemimpinan MUI Dari Buya Hamka hingga KH. Anwar Iskandar seperti yang termuat pada halaman 183 hingga halaman 261. Pemikiran Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang berjudul “Meletakkan Integritas di Atas Kekuasaan”. Atau pemikiran KH. Hasan Basri tentang Etis Kepemimpinan, Penuh Hikmah dan Kemandirian”. Dan pemikiran Prof. KH. Ali Yafie “Menjaga Prinsip, Mengawal Umat” serta pemikiran KH. Ma’ruf Amin tentang “Kepemimpinan Ulama Dalam Simpul Kuasa dan Etika”. Atau gagasan KH. Miftachul Akhyar soal “Kepemimpinan Ulama Dalam Sunyi, Tafakur dan Etika Sosial”.
Demikian juga dalam bagian ke-6 isi buku ini yang termuat pada halaman 237 hingga halaman 432 yang menyampul buku ini.
Antara Tantang Zaman dan Arah Pembaruan dipapar Sekretaris Jendral MUI, Dr.H. Amirsyah Tambunan yang menandakan bahwa MUI bukanlah lembaga negara. MUI adalah lembaga keumatan yang menjadi mitra pemerintah, bukan subordinatnya pemerintah. Ini prinsip penting, sebagai mitra, MUI harus bisa mendukung jika benar, dan menasehati bila keliru. Maka independensi adalah harga mati. Artinya memang tidak ada tawar menawar seperti dalam politik dan hasrat untuk melakukan transaksional.
Sayangnya, buku yang bagus ini belum juga launching atau setidaknya dilakukan bedah buku terbatas. Intinya, bukan sekedar untuk mengkoreksi atau ikut serta menyempurnakan isi maupun tampilannya, tapi yang tidak kalah penting adalah memasyarakatkan MUI sekaligus membangun minat baca warga masyarakat yang semakin loyo dan dimanjakan oleh media elektronik berbasis internet.
Padahal, inti pokok dari buku ini adalah Khadimul Ummah (Semangat Untuk Memberi Pelayanan Untuk Ummat) dan Shadiqul Hukuman (Mengemban misi kemitraan bersama pemerintah) yang mengemban tugas untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan sejak proklamasi dimaklumatian 80 tahun silam. Dan MUI pun sudah berusia setengah abad.
Banten, 9 September 2025
(Agus Salim)