Jakarta,-TribunNews86.id
Dalam atmosfer politik yang semakin panas dan publik yang kian gelisah, Ketua Umum Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), Dr. Suriyanto, Pd., SH., MH., M.Kn., melontarkan kritik tajam yang menggema di seluruh penjuru negeri. Ia menyebut bahwa Indonesia tengah berada di titik nadir demokrasi, di mana institusi negara justru menjadi sumber luka, bukan pelipur, Senin, (01/9/2025).
Kemarahan rakyat bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari akumulasi rasa kecewa, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Ketika video sejumlah anggota DPR RI berjoget merayakan kenaikan gaji dan tunjangan mereka beredar luas, publik merasa dihina. Di tengah krisis ekonomi yang menjerat jutaan keluarga, para wakil rakyat justru menari di atas penderitaan.
“Itu bukan sekadar joget. Itu adalah simbol betapa jauhnya mereka dari realitas rakyat,” ujar Ketua PWRI dalam konferensi pers yang penuh emosi.
Namun, yang benar-benar memantik gelombang protes adalah pernyataan Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang menyebut masyarakat “tolol” karena menyerukan pembubaran DPR. Kata itu menjadi titik balik. Ia bukan hanya menyulut amarah, tapi juga memperlihatkan arogansi kekuasaan yang tak lagi mengenal batas etika.
“Ketika rakyat bersuara, wakilnya malah mencaci. Ini bukan demokrasi. Ini adalah tirani yang dibungkus formalitas,” tegas Ketua Umum PWRI.
Gelombang demonstrasi pun tak terhindarkan. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Medan hingga Surabaya, rakyat turun ke jalan. Mereka membawa poster, teriakan, dan luka. Namun, negara merespons dengan kekerasan. Tragedi memilukan terjadi ketika seorang pengendara ojek online tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat pengamanan aksi. Video kejadian itu viral, memancing kemarahan yang tak terbendung.
Gedung DPRD dibakar. Kantor polisi dirusak. Rumah milik anggota DPR dan Menteri Keuangan dijarah. Ini bukan sekadar kerusuhan. Ini adalah ekspresi dari rasa kehilangan kepercayaan terhadap negara.
Di tengah kekacauan, jurnalis yang seharusnya menjadi saksi dan penyampai kebenaran justru menjadi korban. Bayu Pratama Syahputra, pewarta foto dari LKBN Antara, dipukul oleh oknum polisi saat meliput aksi di depan Gedung DPR. Kamera rusak, tubuh memar, dan kebebasan pers kembali tercoreng.
“Ketika jurnalis dipukul, maka demokrasi ikut dipukul. Negara harus sadar bahwa pers bukan musuh, tapi mitra dalam menjaga akal sehat publik,” tegasnya.
PWRI menyerukan tiga tuntutan utama:
1. Benturan aparat keamanan dan massa aksi harus dipertanggung jawabkan oleh para pejabat pemantik kerusuhan.
2. Perlindungan hukum dan operasional bagi jurnalis, agar mereka dapat bekerja tanpa intimidasi.
3. Pertanggungjawaban moral dari DPR RI dan Pemerintah, atas pernyataan dan tindakan yang memicu krisis sosial.
Lebih dari sekadar kritik, pernyataan Ketua Umum PWRI adalah seruan untuk menyelamatkan demokrasi yang sedang terancam oleh ketidakpekaan, arogansi, dan kekerasan negara.
“Negara harus kembali menjadi ruang harapan, bukan ruang ketakutan. Jika suara rakyat terus dibungkam, maka yang akan bangkit bukan hanya demonstrasi, tapi juga perlawanan yang lebih dalam,” tutup Ketua Umum PWRI dengan nada getir.
(Suhari)