Jakarta – tribunnews86.id
Diskusi rutin mingguan Senin-Kamis, GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) di Sekretariat GMRI Jl. Ir. H. Juanda No. 4 Jakarta Pusat, hadir diantaranya Yusuf Mujiono, Ketua Umum Pewarna Indonesia, Wawan kerabat GMRI dan Sri Eko Sriyanto Galgendu fokus membahas masalah Indonesia terkini, mulai dari aksi unjuk rasa mahasiswa dan tokoh masyarakat serta aktivis pergerakan yang menuntut pembubaran DPR RI hingga rencana launching “Kitab MA HA IS MA YA” yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat, semakin mendesak untuk dilakukan guna menjawab berbagai tantangan jaman. Seperti fenomena yang ditunjukkan oleh aksi massa yang luar biasa besar pada 25 Agustus 2025, yang menandai bahwa kepercayaan rakyat pada pelaksanaan Negera khususnya legislatif tidak lagi memiliki kepercayaan dari rakyat. Sehingga aksi unjuk rasa meminta DPR RI untuk dibubarkan.
Dinamika sosial politik di Indonesia yang semakin memanas akibat ketimpangan ekonomi yang semakin parah dan ketidakadilan seakan mengabaikan rakyat — naiknya nilai pajak yang gila-gilaan dan pemberian kenaikan penghasilan anggota DPR RI ditengah himpitan ekonomi rakyat yang semakin menderita, korupsi merajalela, pembenahan kabinet yang terkesan lamban dilakukan– membuat kesabaran rakyat menjadi kemarahan yang tak lagi dapat ditahan.
“Kitab MA HA IS MA YA” menjadi semakin relevan untuk segera realisasikan guna meredam kegaduhan yang saling silang sengkarut oleh polah penyelenggara negara yang masih mengedepankan kepentingan pribadi, tanpa hirau dengan dera dan derita yang harus dipikul oleh rakyat.
Karena itu, konsepsi tentang “Insan Kamil” yang dilontarkan Wawan merupakan bagian dari capaian dari sosialisasi muatan dari isi “Kitab MA HA IS MA YA” untuk mengajak merenungkan makna “manusia sempurna” sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi untuk tidak membuat kerusakan, tak hanya yang berwujud fisik tetapi juga yang lebih bersifat kejiwaan, batin yang meliputi etika, moral dan akhlak manusia yang luhur.
Nilai-nilai kemanusiaan manusia yang luhur itu hanya mungkin dicapai melalui kesempurnaan spiritual sebagai penjaga etika, moral dan akhlak mulia manusia yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan — Asmaul Husna — dalam kehidupan yang nyata.
Insan Kamil yang memiliki bobot nilai-nilai filosofis, sufisme dan karakter yang luhur dan mulia dari manusia, harus dibangun dan dibangkitkan untuk mengatasi dari kebobrokan etika, moral dan akhlak manusia Indonesia yang semakin tersuruk dalam kubangan korupsi berjamaah — sebagai bentuk hipokrit dan pengkhianatan sebagai aparatur negara dan pemerintah, meliputi seluruh wilayah eksekutif, legislatif dan yudikatif yang semakin gandrung melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan maupun kekuasaan untuk mengeruk keuntungan demi dan untuk dirinya sendiri.
Karena itu, pengkhianatan melalui cara penyelewengan dan menyalahgunakan wewenang telah menjadi modus baru dari puncak budaya korupsi di Indonesia, hingga hanya mungkin diredakan oleh revolusi spiritual — kembali pada basis Erika, moral dan akhlak mulia manusia yang memiliki fitrah ilahiah sebagai anugrah pemberian istimewa dari Tuhan.
Ketidakpercayaan peserta aksi unjuk rasa yang mendesak DPR RI untuk segera dibubarkan pada 25 Agustus 2025, sesungguhnya sangat memalukan karena tidak lagi memiliki kepercayaan dari rakyat, seperti Bupati Kabupaten Pati yang masih ngotot karena mengklaim dipilih oleh rakyat.
Lalu mengapa ketika rakyat meminta mundur dan meletakkan jabatan seperti DPR RI yang diminta untuk dibubarkan oleh rakyat itu masih juga tidak memiliki rasa malu dan mau meninggalkan status dirinya yang merasa masih mewakili suara rakyat ini ?
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh rakyat sesungguhnya mengekspresikan tidak adanya budaya muzakarah — musyawarah mufakat — seperti yang tersurat dalam UUD 1945 dan tersurat dalam salah satu sila Pancasila yang diyakini sebagai falsafah bangsa maupun ideologi negara Indonesia.
Krisis kepercayaan rakyat terhadap DPR RI yang diekspresikan dalam aksi unjuk rasa pada 25 Agustus 2025 dengan seruan lantang pembubaran DPR RI sungguh merupakan aib bila tidak ditanggapi dengan positif — misalnya dengan mengundurkan diri — baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk fraksi — karena tak lagi memiliki legitimasi untuk mewakili rakyat yang merasa tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari keberadaan wakil rakyat yang telah disumpah itu untuk menjalankan amanah rakyat.
Kebobrokan etika, moral dan akhlak mulia manusia serupa ini yang hendak dibenahi melalui gerakan kebangkitan dan kesadaran spiritual yang beranjak dari etika, moral dan akhlak mulia manusia — sebagai anugrah Tuhan — yang telah diabaikan sehingga merasa bebas untuk melakukan tindak kejahatan, menyalahgunakan wewenang dan jabatan serta khianat pada amanah rakyat. Oleh karena itu, “Kitab MA HA IS MA YA” dapat menjadi rujukan pegangan untuk memasuki fase revolusi spiritual di Indonesia yang semakin mendesak dan harus segera dilakukan. Sebab kebobrokan budaya politik, perilaku ekonomi yang culas dan kegamangan dalam tatanan sosial dan keagamaan harus dikembalikan kepada fitrah mulia manusia — Insan Kamil — sebagai representasi Tuhan di bumi.
(Agus Salim)
Pecenongan, 25 Agustus 2025