Karangan Untuk Polres Sumedang, Simbol Terimakasih atau Tameng Kepentingan ?   

Karangan Untuk Polres Sumedang, Simbol Terimakasih atau Tameng Kepentingan ?  

Spread the love

 

SUMEDANG – tribunnews86.id

CyberTipikor – Sebuah peristiwa simbolik namun menyimpan banyak tafsir terjadi di Sumedang. Hampir seluruh Ketua DPK APDESI se-Kabupaten Sumedang mengirimkan karangan bunga kepada Polres Sumedang sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan aparat dalam menangkap tujuh oknum wartawan dan LSM yang diduga memeras Kepala Desa Ciuyah, Kecamatan Cisarua.

 

Secara simbolik, karangan bunga bisa dimaknai sebagai ungkapan terima kasih. Namun dalam konteks ini, gestur tersebut menimbulkan tanda tanya yang lebih besar daripada makna permukaannya. Apakah benar ini bentuk apresiasi murni terhadap penegakan hukum, atau justru sinyal politis dari para kepala desa yang sedang membentengi dirinya?

 

Penegakan Hukum atau Panggung Persepsi?

 

Publik tentu tidak asing dengan berbagai pengungkapan kasus besar yang selama ini dilakukan Polres Sumedang—mulai dari narkoba, pencurian dengan kekerasan, hingga pembunuhan. Namun sejauh ini, belum pernah ada pemberian karangan bunga atau seremoni simbolik yang setara. Maka wajar jika publik menilai, pemberian karangan bunga dalam kasus pemerasan ini terasa janggal.

 

Alih-alih murni sebagai bentuk penghargaan, langkah APDESI ini justru tampak sebagai upaya damage control—membangun relasi emosional dengan institusi penegak hukum, seolah menyampaikan pesan: “Kami di pihak kalian.”

 

Perlu diingat, posisi kepala desa bukan sekadar jabatan administratif. Mereka adalah pengelola anggaran yang tidak sedikit. Berdasarkan data Kemendagri, sejak program Dana Desa diluncurkan tahun 2015, ribuan kepala desa di Indonesia telah menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana desa. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi di level desa menjadi salah satu yang paling marak dan masif.

 

Pemerasan adalah Kejahatan, Tapi Apa Motifnya?

 

Tentu, pemerasan adalah tindak pidana. Pasal 368 KUHP secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu dengan ancaman, dipidana penjara paling lama sembilan tahun.

 

Namun, dalam konteks kasus Ciuyah, muncul pertanyaan fundamental: apa motif di balik pemerasan tersebut? Berdasarkan informasi yang beredar, tindakan oknum wartawan dan LSM itu didasari oleh dugaan penyelewengan anggaran desa oleh Kades Ciuyah. Jika demikian, maka kasus ini seharusnya tidak berhenti pada pelaku pemerasan.

 

Prinsip keadilan hukum menuntut agar objek pemerasan yang diduga melakukan pelanggaran juga diperiksa. Jika benar ada penyimpangan anggaran, maka Kepala Desa Ciuyah pun patut didalami keterlibatannya.

 

Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa:

 

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun.”

 

Dalam konteks ini, aparat penegak hukum seharusnya tidak berhenti pada para pemeras, tetapi juga menyentuh akar masalah—apakah benar ada tindak pidana korupsi yang coba disembunyikan?

 

Politik Simbolik di Balik Bunga

 

Pemberian karangan bunga bisa jadi hanyalah strategi komunikasi politik para kepala desa: membangun citra kolektif bahwa mereka “bersih” dan “terzalimi”. Namun kenyataannya, sistem pengawasan atas pengelolaan dana desa masih sangat lemah, sementara peluang penyimpangan terbuka lebar.

 

Apabila aparat hanya menangkap pemeras tanpa menyentuh dugaan korupsi yang menjadi sumber tekanan, maka keadilan menjadi timpang. Dalam bahasa populer: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tapi juga membentuk opini publik yang semakin sinis terhadap sistem hukum kita.

 

Yang lebih memprihatinkan, jika dugaan penyelewengan dana desa terbukti, maka para kades yang hari ini memberi karangan bunga bisa jadi sedang menyiapkan panggung perlindungan bagi diri mereka sendiri. Mereka sadar, hari ini mungkin bukan giliran mereka—tapi besok siapa yang tahu?

 

Jangan Jadikan Hukum sebagai Alat Kepentingan

 

Hukum adalah alat menjaga keadilan, bukan alat seleksi berdasarkan posisi dan kekuasaan. Jika wartawan dan LSM yang menyimpang disebut “bandit”, maka kepala desa yang menyelewengkan uang rakyat tidak layak disebut “pemimpin”—mereka adalah perampok berseragam pejabat.

 

Karangan bunga seharusnya tidak dijadikan simbol kemunafikan kolektif. Jika benar ingin membela keadilan, maka penegakan hukum harus menyeluruh—bukan sekadar pada mereka yang berisik, tapi juga terhadap mereka yang diam tapi mencuri uang negara dalam senyap.

 

(Agus Salim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *