Pekalongan-TribunNews86.Id
Nasib malang menimpa Warsiti (72), seorang warga lansia di Desa Tangkil Kulon, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Tanah satu-satunya miliknya seluas 166 meter persegi diduga telah dijual secara sepihak oleh kerabatnya, tanpa sepengetahuan maupun persetujuan dirinya. Peristiwa memilukan ini bermula dari pinjaman uang Rp3 ribu pada tahun 1980 yang digunakan untuk biaya pengobatan suaminya.
Kini, di usia senja dan setelah ditinggal suami tercinta pada Kamis (24/7/2025), Warsiti hanya bisa berharap ada keadilan dan uluran tangan dari Pemerintah Kabupaten Pekalongan, terutama Bupati Fadia Arafiq, untuk membantu mengembalikan hak atas tanah yang telah menghilang dari genggamannya.
> “Saya tidak pernah menandatangani apa pun. Tanah itu tiba-tiba sudah jadi milik orang lain,” ungkap Warsiti penuh haru, Sabtu (26/7/2025).
Kisah ini bermula pada 1980, saat Warsiti dan suaminya, almarhum Nur Said, meminjam uang kepada kerabatnya, Waryumi, sebesar Rp3 ribu—jumlah yang saat itu cukup besar. Pinjaman tersebut digunakan untuk biaya pengobatan Nur Said. Sebagai jaminan, pasangan tersebut menyerahkan hasil kebun, bukan tanahnya.
Namun, bertahun-tahun kemudian, Warsiti mendapati bahwa tanah miliknya telah berpindah kepemilikan secara administratif. Anehnya, ia tidak pernah diminta untuk menandatangani surat jual beli, memberikan cap jempol, atau hadir dalam proses notarial. Sebagai perempuan buta huruf, Warsiti merasa ditipu dan tidak tahu bagaimana harus memperjuangkan haknya.
> “Saya buta huruf, tidak paham hukum. Tapi saya yakin saya tidak pernah menjual tanah itu,” ujarnya.
Setelah menyadari tanahnya telah berpindah tangan, Warsiti telah mengadu kepada perangkat Desa Tangkil Kulon. Namun hingga kini, belum ada kejelasan maupun tindakan hukum yang diambil oleh pemerintah desa.
> “Saya sudah sampaikan ke desa, tapi belum ada tindakan. Saya hanya minta keadilan. Tanah itu satu-satunya peninggalan suami saya,” tutur ibu enam anak ini.
Tanah tersebut merupakan satu-satunya aset yang dimiliki Warsiti, yang rencananya akan diwariskan kepada anak-anaknya. Kini, ia hidup dalam ketidakpastian, berharap adanya campur tangan dari pemerintah daerah untuk membantu menyelesaikan kasus yang dianggapnya sangat merugikan.
Warsiti kini hanya bisa mengandalkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Pekalongan. Ia berharap Bupati Pekalongan, Fadia Arafiq, dapat memberikan perhatian terhadap kasus yang menimpanya dan memfasilitasi penyelesaian secara hukum.
> “Saya mohon kepada Bu Bupati agar saya dibantu. Saya tidak tahu harus ke mana lagi mengadu. Saya tidak punya siapa-siapa,” kata Warsiti lirih.
Kasus ini mencerminkan betapa rentannya masyarakat, khususnya lansia buta huruf, dalam urusan agraria dan hukum pertanahan. Minimnya pemahaman dan lemahnya perlindungan dari pihak-pihak terkait membuat mereka mudah dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab, bahkan dari lingkungan keluarga sendiri.
Seruan untuk Pemerintah dan Penegak Hukum
Kasus seperti yang dialami Warsiti bukan yang pertama terjadi. Banyak warga miskin dan buta huruf yang mengalami nasib serupa akibat lemahnya pengawasan administrasi pertanahan. Pemerintah daerah diharapkan lebih tanggap dalam menangani laporan warga, serta menindak tegas pihak-pihak yang menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah desa juga didorong untuk aktif membantu warganya dalam menyelesaikan sengketa, bukan hanya menjadi penonton dalam masalah seperti ini.
(Teddy/hts)
–