Pekalongan-TribunNews86.Id
Merasa tertekan oleh desakan untuk menikah, seorang pemuda lajang asal Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, berinisial M.A (23), akhirnya meminta perlindungan hukum ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adhyaksa. Ia mengaku terus dibayangi ancaman oleh seorang perempuan berstatus janda beranak dua, berinisial S, yang disebut-sebut memaksanya untuk menikah.
Didampingi ibunya, M.A mendatangi kantor LBH Adhyaksa pada Selasa (15/7) siang. Langkah ini diambil usai ia menerima tekanan dari S dan seorang pria yang mengaku sebagai pamannya, bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke ranah hukum jika M.A tidak mau bertanggung jawab atas hubungan asmara yang telah mereka jalani selama dua bulan terakhir.
“Kami didatangi oleh S dan seorang pria yang katanya polisi. Mereka datang ke rumah dan mengancam saya jika tidak mau menikahi S. Saya merasa tertekan,” ujar M.A kepada awak media.
Kisah keduanya bermula dari perkenalan via media sosial dua bulan lalu. Dari komunikasi di dunia maya, keduanya sepakat bertemu langsung di daerah Tangkil, Kedungwuni. Pertemuan itu dilanjutkan dengan jalan-jalan ke Kajen untuk menjalin kedekatan.
Seiring waktu, hubungan mereka menjadi semakin intim. M.A mengakui bahwa selama dua bulan terakhir, ia dan S beberapa kali melakukan hubungan badan atas ajakan dari S.
“Sering begituan di kamar kos. Dia (S) yang ngajak,” ujar M.A dengan nada polos.
Namun, hubungan yang awalnya penuh romansa mulai merenggang. Menurut pengakuan M.A, ia mulai merasa curiga dengan ketulusan cinta S setelah melihat interaksi wanita itu dengan pria lain melalui pesan singkat.
“Kecurigaan saya muncul ketika saya lihat dia masih membalas chat dari beberapa laki-laki. Karena itu, saya memutuskan untuk menjauh,” jelas M.A, yang diketahui bekerja sebagai penjahit daster.
Situasi kian memburuk ketika M.A menghapus foto kemesraan mereka yang semula dijadikan wallpaper ponselnya. Hal ini disebut membuat S tersinggung dan hubungan mereka makin renggang.
Ketegangan memuncak saat S mendatangi rumah M.A bersama seorang pria yang mengaku sebagai pamannya dan menyatakan dirinya anggota kepolisian. Mereka menuntut agar M.A segera menikahi S, dengan ancaman akan membawa masalah ini ke ranah hukum jika permintaan tidak dituruti.
Tak ingin persoalan ini berkembang menjadi konflik hukum, M.A pun memutuskan untuk mencari perlindungan hukum dari LBH Adhyaksa.
Didik Pramono dari LBH Adhyaksa yang menerima kuasa dari M.A menegaskan bahwa pihaknya akan memberikan pendampingan hukum sepenuhnya. Ia menyatakan bahwa tidak ada unsur pemaksaan atau perjanjian tertulis dalam hubungan pribadi tersebut, sehingga tidak ada dasar hukum yang bisa digunakan untuk menuntut secara pidana.
“Kami akan mendampingi M.A secara hukum. Jika pihak lawan melanjutkan ancaman atau melaporkan secara hukum, kami siap melawan sesuai perundang-undangan yang berlaku,” ujar Didik.
Ia juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak mudah mengambil tindakan main hakim sendiri dalam hubungan personal yang bersifat sukarela, apalagi jika tidak ada bukti kuat atau dasar hukum yang mendukung klaim tertentu.
Kisah M.A dan S menjadi cerminan bahwa dinamika hubungan yang dibangun di media sosial bisa berujung kompleks jika tidak disikapi dengan bijak. Tekanan emosional dan sosial yang muncul dari relasi seperti ini bahkan bisa sampai menimbulkan trauma hingga tuntutan hukum. Pendampingan dari lembaga hukum dinilai penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan maupun intimidasi terhadap pihak-pihak yang lebih rentan.
(ari/hts)