Literasi Digital : Life Skill, Kritis dan Etis

Literasi Digital : Life Skill, Kritis dan Etis

Spread the love

Oleh: Ariyanti Jalal
(Dosen Universitas Khairun, Mahasiswa Doktoral Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia)

Perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi yang semakin pesat memberikan dampak yang besar pula pada perubahan gaya hidup masyarakat. Era disrupsi teknologi yang dikenal dengan revolusi industry 4.0 mengubah semua tatanan kehidupan dari yang bersifat manual menuju digital, dimana pemanfaatan internet dan teknologi merajai seluruh aspek bidang kehidupan. Misalnya, dulu ketika akan bepergian ke suatu tempat, orang harus menunggu angkutan lewat, sekarang melalui aplikasi Go-Jek atau Go-Car, orang cukup melakukan pemesanan di aplikasi, motor atau mobil yang akan datang menjemput.

Saat ini, transformasi besar-besaran terjadi dalam semua bidang kehidupan seperti komunikasi, transportasi, perdagangan, ekonomi, bisnis, politik, Pendidikan dan sebagainya. Seluruh aktivitas di bidang-bidang tersebut dilaksanakan dengan menggunakan internet berbasis media atau aplikasi digital. Tantangan yang dihadapi masyarakat adalah mau atau tidak mau harus mampu beradaptasi dan mempersiapkan diri terhadap perubahan tersebut. Masyarakat harus memiliki keterampilan yang baik sehingga mampu menggunakan media digital tersebut dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Menurut Casey & Hallissy (2016) bahwa kemampuan seseorang untuk menggunakan teknologi digital dalam memperoleh informasi dan menggunakan alat komunikasi untuk berinteraksi secara efektif disebut literasi digital. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Indonesia, bahwa total jumlah pengguna Internet di Indonesia per awal 2015 adalah 88,1 juta orang. Hasil riset yang dilansir oleh wearesocial.sg pada tahun 2017 tercatat ada sebanyak 132 juta pengguna internet di Indonesia dan angka ini tumbuh sebanyak 51 persen dalam kurun waktu satu tahun.

Kemudian pada tahun 2022, We Are Social meliris data bahwa dari total populasi sebesar 277,7 juta jiwa, 73,7% atau sekitar 204,7 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna internet aktif dan 68,9% (191,4 juta) di antaranya merupakan pengguna media sosial. Menurut data tersebut, kaum muda Indonesia yang tergabung dalam kelompok usia 13-17 tahun dan 18-24 tahun memiliki persentase terbesar (19,8%) pengguna internet di Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa secara teknis dan fungsional, masyarakat khususnya kaum muda telah memiliki kompetensi digital yang baik.
Pemanfaatan internet yang semakin pesat dan akses informasi yang semakin mudah dijangkau memberikan dampak besar bagi masyarakat. Tingginya penggunaan internet di kalangan anak muda dimana dalam 1 hari mereka bisa menghabiskan waktu untuk berinternet selama kurang lebih 5 jam. Mayoritas responden APJII mengaku mengakses internet selama lebih dari delapan jam per hari.  Hasil survei memperlihatkan 3 alasan utama, yaitu bermain media sosial (51,5 persen), saling berkirim pesan (39,2 persen), dan mencari hiburan (5,2 persen). Mencari informasi atau berita tidak masuk ke dalam tiga alasan utama orang mengakses internet. APJI mencatat alasan mencari berita hanya disampaikan oleh 1,4 persen responden di dalam penelitian tersebut (Aliansi Jurnalis Independen, 2022). Hal ini tentunya memberikan peluang yang besar untuk mereka mengakses informasi-informasi negative seperti berita atau informasi hoaks, ujaran kebencian, konten-konten negative, dan intoleransi di media sosial. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) menjelaskan bahwa dari laporan koran Republika mengatakan bahwa sejak tahun 2017 data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi per hari rata-rata mencapai 25 ribu orang. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab besar bagi orang tua, para pendidik, dan masyarakat sekitar untuk berperan penting dalam mempersiapkan generasi muda yang memiliki kompetensi literasi digital. Siswantini et al (2022) mengatakan bahwa seorang pengguna media digital dianggap memiliki kompetensi literasi digital yang baik jika tidak hanya mampu mengoperasikan perangkat digital yang dimilikinya, melainkan juga mampu menggunakannya dengan penuh tanggung jawab.

Menjadi literat digital tidak hanya mampu memproses informasi dan berkomunikasi efektif dengan orang lain, tetapi mampu menyerap informasi tersebut sesuai dengan aturan etika serta memiliki kesadaran dan mampu berpikir kritis terhadap berbagai dampak dari berbagai informasi dan konten negatif atau yang belum tentu kebenarannya. Kemdikbud (2017) menjelaskan bahwa literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital.

Literasi Digital sebagai life skill
Keberadaan internet sebagai salah satu sumber informasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat berdampak juga pada pesatnya produksi dan penyebaran konten di dunia maya. Hal ini tentunya sangat baik bagi perkembangan produktivitas dan kreativitas masyarakat. Banyak konten-konten yang memberikan pengetahuan dan informasi-informasi baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun, dalam kondisi yang lain, bermunculan pula konten-konten yang negatif dan tidak pantas. Pengguna internet yang tidak memiliki literasi digital yang baik, maka internet akan berpotensi menjadi sumber informasi-informasi yang salah dan menyesatkan.
Literasi digital adalah kombinasi dari pemahaman teknologi, keterampilan kognitif, dan etika digital yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan dunia digital dengan cara yang berarti, bertanggung jawab, dan efektif. Salah satu aspek penting dalam literasi digital adalah kemampuan untuk menemukan informasi. Pemahaman teknologi disini berarti masyarakat memiliki kemampuan dalam mencari, menemukan dan memilah serta memahami informasi yang benar. Keterampilan teknologi menunjukkan kecakapan atau kemahiran masyarakat dalam menggunakan teknologi seperti media sosial atau aplikasi-aplikasi lainnya berbasis digital.

Sedangkan etika digital merujuk pada kemampuan masyarakat untuk menggunakan teknologi tersebut secara jujur dan bertanggung jawab.
Seseorang yang memiliki etika digital perlu bersikap skeptis terhadap informasi atau konten-konten yang diperoleh dari internet. Artinya perlu bersikap waspada, curiga atau was-was, apakah informasi ini benar ataukah hanya hoax? sehingga terhindar dari segala bentuk kejahatan digital.  Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital saat menerima sebuah informasi, tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab (Chairul Rizal, 2022).
Literasi Digital: Berpikir Kritis dan Etis
Masalah etika menjadi hal yang sangat penting dalam program Indonesia semakin cakap digital (Frida et al, 2020). Hal ini sangat urgen karena ketika berinteraksi di dunia digital sering ditemukan berbagai konten yang tidak etis. Konten-konten seperti perilaku toxic, bullying, ataupun pornografi sering sekali bertebaran di media digital. Jika seorang pengguna internet tidak memiliki etika digital yang baik maka bisa dipastikan akan mudah terpengaruh konten-konten tersebut. Oleh karena itu berperilaku kritis dan etis menjadi kunci sebagai benteng dari berbagai macam kejahatan-kejahatan digital.

Literasi digital membantu seseorang untuk menjadi konsumen informasi yang kritis, yang tidak hanya menerima informasi apa adanya, tetapi mempertanyakan sumbernya, memeriksa kebenarannya, dan memahami konteks di baliknya (Windra Swastika, 2024). Sebagai konsumen informasi, berperilaku kritis sangat penting dalam memahami suatu informasi sehingga ketika menggunakan informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara etika.
Literasi digital juga mencakup kemampuan untuk berbagi informasi dengan cara yang bertanggung jawab. Sebagai pengguna media digital, perlu bersikap kritis terhadap diri sendiri. Misalnya, saat akan menyebarkan suatu konten, sangat penting mengevaluasi kembali isi konten dan kata-kata dalam konten. Berpikir secara kritis tentang apakah isi konten dan ucapan tersebut tidak mengandung unsur toxic atau bullying yang nanti akan merugikan orang lain. Perilaku tidak etis tidak hanya berdampak buruk bagi kenyamanan dan psikis orang lain, tetapi juga berakibat pada sulitnya pengguna memiliki hubungan sosial yang baik dengan masyarakat di dunia nyata maupun dunia digital.  Kreatifitas dan kebebasan berekspresi serta didukung oleh literasi digital yang tinggi maka akan menciptakan dunia digital yang berbudaya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *