Dugaan Pelanggaran dan Minimnya Transparansi Proyek Bronjong Dam di Tedunan Batang

Dugaan Pelanggaran dan Minimnya Transparansi Proyek Bronjong Dam di Tedunan Batang

Spread the love

Batang Jateng-TribunNews86.id

Sorotan tajam kini mengarah ke proyek pembangunan bronjong dam penahan tanah di Desa Tedunan, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Proyek senilai Rp220 juta yang bersumber dari dana hibah Tahun Anggaran 2024 tersebut kini menjadi polemik menyusul dugaan pelanggaran dan ketidaktransparanan pelaksanaannya.

Proyek yang seharusnya menjadi bagian dari program rehabilitasi luar kawasan hutan negara melalui sub-kegiatan konservasi tanah, air, hutan, dan lahan ini dilaksanakan oleh Kelompok Tani (KT) Sumber Rezeki. Namun, fakta di lapangan mengungkap adanya ketidaksesuaian antara skema anggaran dan implementasi kegiatan.

Kelompok Tani Sumber Rezeki menjadi pelaksana proyek, namun secara administratif menggunakan nama KT Rezeki Agung karena belum berbadan hukum. Kegiatan ini berada di bawah pengawasan Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah Pekalongan, yang juga bertindak sebagai pengelola sebagian anggaran.

Dari total anggaran Rp220 juta, kelompok tani hanya menerima Rp100 juta atau sekitar 40 persen. Sisa dana sebesar Rp120 juta langsung dikelola oleh CDK untuk pengadaan bahan, pelaporan, dan administrasi lainnya. Kondisi ini memaksa kelompok tani menggunakan dana pribadi untuk menutupi kekurangan biaya operasional, seperti pembelian batu dan pembayaran tenaga kerja.

Proyek dimulai pada awal tahun 2024 dan berlangsung di Desa Tedunan, wilayah perbukitan yang rawan longsor di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Minimnya informasi terbuka kepada masyarakat serta ketiadaan papan proyek menjadi pemicu kecurigaan publik. Ketua KT, Ilyono, mengaku tidak mengetahui secara rinci rincian penggunaan dana, bahkan soal legalitas kelompok mereka sebagai penerima hibah. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait akuntabilitas dan prosedur administratif proyek.

Menurut Irawan, pendamping teknis sekaligus penanggung jawab dari CDK, proyek dijalankan dengan sistem swakelola tipe IV, di mana 60 persen kegiatan diatur oleh instansi pemerintah dan sisanya oleh masyarakat. Ia menyebut, pengadaan barang dilakukan secara langsung oleh dinas agar memenuhi syarat teknis seperti TKDN. Mengenai papan proyek, Irawan menyatakan bahwa dana lebih difokuskan pada honor tenaga kerja ketimbang simbol proyek yang dianggap tidak esensial.

Namun, pendekatan ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip transparansi yang diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tidak adanya akses publik terhadap informasi detail proyek, seperti rincian anggaran, mekanisme pelaksanaan, dan legalitas pelaksana, menandakan lemahnya pengawasan dan kontrol sosial.

Ketika proyek publik yang menggunakan dana negara dijalankan tanpa transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan masyarakat menjadi taruhannya. Pihak berwenang diharapkan segera memberikan klarifikasi dan membuka dokumen pelaksanaan secara terbuka kepada publik. Sebab, pembangunan tanpa keterbukaan hanyalah pembangunan semu—mengaburkan niat baik di balik dinding birokrasi.

Jurnalis: Nurhayadi & Tim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *