Sumatera Utara,Tribunnews86.id -Nias Insiden tragis menimpa seorang pekerja proyek pembangunan Jembatan Idano La’uri, Desa La’uri, Kecamatan Sogaeadu, Kabupaten Nias, yang berujung pada kematian salah seorang pekerja, bernama Surya Bakti (31), pada 11 November 2024. Korban meninggal setelah tersengat arus listrik bertegangan tinggi dalam kondisi hujan deras dan petir saat bekerja.
“Namun, yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap abai pihak kontraktor terhadap hak-hak keluarga korban, yang seharusnya mendapatkan perhatian penuh sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Kejadian yang menelan korban jiwa ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan pekerja lainnya, karena meskipun perusahaan tersebut, PT. Allam Daya Wicaksana, mengklaim telah menerapkan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kenyataannya tragedi ini terjadi akibat kelalaian dalam pengelolaan keselamatan kerja.
Lebih buruk lagi, pihak keluarga korban, terutama Budi Rahayu, istri almarhum, menyatakan bahwa hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait hak-hak yang seharusnya diterima oleh keluarga yang ditinggalkan almarhum, baik dari segi kompensasi maupun santunan jaminan kematian.” kata istrinya
Budi Rahayu mengungkapkan bahwa ia hanya diberikan uang Rp.15.000.000 juta oleh pihak perusahaan untuk biaya pemakaman, tanpa ada kejelasan lebih lanjut mengenai hak-hak lain yang seharusnya diterima, seperti santunan BPJS Ketenagakerjaan dan bantuan pendidikan untuk anak-anaknya yang masih kecil. “Saya sangat kecewa. Pihak perusahaan tidak ada yang menemani kami, tidak ada penjelasan apa pun tentang hak kami. Kami hanya diberi uang yang jelas tidak cukup untuk menghidupi anak-anak saya,” keluh Budi dengan air mata yang tak terbendung.
Kecelakaan ini menyoroti beberapa kelemahan dalam penerapan standar keselamatan di tempat kerja, terutama di sektor konstruksi yang sangat berisiko tinggi. Meskipun kondisi cuaca buruk, pekerja tetap dipaksa untuk melanjutkan pekerjaan, termasuk merakit rangka Besi baja dan pengecoran abutment jembatan. Akibatnya, korban, yang saat itu berusaha berteduh, justru terjebak dalam kondisi yang fatal akibat kabel listrik bertegangan tinggi, almarhum terjatuh di area tersebut dan kesetrum.
“Keluarga korban bukan hanya merasa kecewa, tetapi juga merasa ditelantarkan oleh perusahaan yang bertanggung jawab. Seharusnya, pihak perusahaan sudah memperhatikan aspek keselamatan kerja lebih ketat, bukan hanya mengejar target penyelesaian proyek. Korban ini adalah bukti nyata bahwa keselamatan pekerja seringkali dikorbankan demi efisiensi waktu dan anggaran.
Menurut Agri Helpin Zebua, Ketua DPW LSM KCBI Kepulauan Nias, pihak kontraktor PT. Allam Daya Wicaksana jelas melanggar hak-hak keluarga korban. Dalam hukum ketenagakerjaan, terutama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44/2015, disebutkan bahwa pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja berhak menerima sejumlah santunan dari perusahaan, termasuk:
– 1. Santunan Jaminan Kematian sebesar Rp. 20.000.000 juta untuk ahli waris.
– 2. Santunan Berkala sebesar Rp. 12.000.000 juta yang diberikan tahunan.
– 3. Biaya Pemakaman sebesar Rp. 10.000.000 juta
– 4. Beasiswa Pendidikan untuk anak-anak pekerja yang meninggal dalam masa aktif kerja.
Namun, pada kenyataannya, pihak keluarga korban belum menerima hak-hak tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan besar : Apakah perusahaan tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan? Ataukah ada pengabaian terhadap hak-hak pekerja yang seharusnya diberikan?
“Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan, seharusnya turun tangan untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja diberikan sesuai dengan aturan yang ada. BPJS Ketenagakerjaan memiliki kewajiban untuk memberikan santunan kematian dan biaya pemakaman jika pekerja terdaftar sebagai peserta. Namun, jika pekerja tidak terdaftar, perusahaan tetap memiliki kewaijiban. [Red/*]