Bangka Belitung, Tribunnews86.id
Istilah “kotak kosong” seringkali menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat awam dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun, bagi mereka yang akrab dengan dunia politik dan birokrasi, istilah ini sebenarnya tidak dikenal dalam rezim Pilkada.
Dalam peraturan yang berlaku, istilah yang digunakan adalah “kolom kosong,” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU Pilkada.
Menurut Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada, “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.”
Istilah “kotak kosong” sendiri merupakan bahasa populer yang digunakan oleh masyarakat. Meskipun begitu, baik “kotak kosong” maupun “kolom kosong” pada dasarnya merujuk pada hal yang sama, yaitu Pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja.
Fenomena aksi “borong partai” yang menciptakan ruang bagi “kotak kosong” bukanlah hal yang mengejutkan dalam politik.
Hal ini disebabkan oleh partai-partai politik pengusung calon yang telah terkooptasi dan tersandera oleh kelompok-kelompok oligarki yang ingin berkuasa.
Proses kooptasi ini dipermudah oleh keringnya ideologi partai politik di Indonesia, di mana banyak partai hanya berorientasi pada kepentingan pragmatis, bukan berdasarkan cita-cita perjuangan masyarakat (rechsidee).
Fenomena ini semakin jelas terlihat dari minimnya dinamika ide dan gagasan dalam proses pencalonan di Pilkada.
Akibatnya, “kotak kosong” ini menjadi karpet merah bagi partai politik yang memiliki kekuasaan untuk mengamankan posisi bagi klan politik tertentu.
Pada akhirnya, Pilkada tidak lagi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat atau membangkitkan kesadaran politik publik. Pilkada dengan kotak kosong hanyalah pesta oligarki atas kekuasaan politik.
Dalam Pasal 54C ayat (1) UU Pilkada juncto Pasal 136 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024, diatur lima kondisi di mana Pilkada dapat dilaksanakan dengan hanya satu pasangan calon.
Pertama, hanya terdapat satu pasangan calon hingga masa penundaan dan perpanjangan pendaftaran berakhir.
Kedua, berdasarkan hasil penelitian, hanya terdapat satu pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat.
Ketiga, sejak penetapan pasangan calon hingga dimulainya masa kampanye, terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap.
Keempat, sejak dimulainya masa kampanye hingga hari pemungutan suara, terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap.
Kelima, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan, sehingga hanya terdapat satu pasangan calon. Jika pasangan calon tunggal ini ditetapkan sebagai peserta Pilkada, maka ia akan berhadapan dengan kotak kosong.
Dengan memahami kondisi dan implikasi dari kotak kosong dalam Pilkada, kita dapat lebih kritis dalam menyikapi proses politik yang terjadi, serta melihat bagaimana fenomena ini mencerminkan dinamika kekuasaan dan demokrasi di tingkat lokal. KBO Babel /MB
Penulis : Armansyah .S.S.,S.H., Ketua Umum Baretta dan seorang advokat di Bangka Belitung).
Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi KBO-Babel.Com 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004.